Kisah MUSH’AB BIN UMAIR
Di
antara sahabat Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam yang memiliki
semangat dan kepiawaian dalam menjalankan tugas da’wah ialah Mush’ab bin Umair.
Ia terhitung salah seorang as-Sabiqun al-Awwaluun (pionir pemeluk
Islam). Sahabat yang satu ini sudah memperlihatkan kehanifan dan kecintaannya
kepada iman sejak awal kali ia mendengar soal Muhammad bin Abdullah shollallahu
’alaih wa sallam yang mengaku sebagai Nabi terakhir utusan Allah.Coba
perhatikan bagaimana Khalid Muhammad Khalid menggambarkan soal keislamannya di
dalam buku Karakteristik Perihidup 40 Shahabat Rasulullah:
Baru saja Mush’ab mengambil tempat duduknya,
ayat-ayat al-Quran mulai mengalir dari kalbu Rasulullah shollallahu ’alaih wa
sallam bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati
para pendengar. Di senja itu Mush’ab pun terpesona oleh untaian kalimat
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam yang tepat menemui sasaran pada
kalbunya.
Hampir
saja anak muda itu terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru, dan serasa
terbang ia karena gembira. Tetapi Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam
mengulurkan tangannya yang penuh berkat dan kasih sayang dan mengurut dada
pemuda yang sedang panas bergejolak, hingga tiba-tiba menjadi sebuah lubuk hati
yang tenang dan damai, tak obah bagai lautan yang teduh dan dalam. Pemuda yang
telah Islam dan Iman itu nampak telah memiliki ilmu dan hikmah yang luas –
berlipat ganda dari ukuran usianya – dan mempunyai kepekatan hati yang mampu
merubah jalan sejarah.
Memang,
Mush’ab bin Umair bukan sembarang lelaki. Ketika di masa jahiliyyah, ia dikenal
sebagai pemuda dambaan kaum wanita. Ia adalah seorang pemuda tampan yang
dikenal sangat perlente. Bila ia menghadiri sebuah perkumpulan ia segera
menjadi magnet pemikat semua orang terutama kaum wanita. Gemerlap pakaiannya
dan keluwesannya bergaul sungguh mempesona. Namun sesudah memeluk Islam, ia berubah sama sekali,Beginilah gambaran Mush'ab bin umair oleh penulis:Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Demi memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal–tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka – pakaiannya sebelum masuk Islam – tak obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi.
“Dahulu
saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan
dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada
Allah dan Rasul-Nya.”
Demikianlah,
Mush’ab menjadi seorang yang meninggalkan kebanggan palsu dunia dan
menggantikannya dengan kemuliaan hakiki akhirat. Tidak mengherankan bila
akhirnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menunjuknya untuk
menjadi duta pertama Islam berda’wah di Madinah. Beginilah gambarannya:
Suatu
saat Mush’ab dipilih Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam untuk melakukan
suatu tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah
untuk mengajarkan seluk beluk Agama kepada orang – orang Anshar yang telah
beriman dan baiat kepada Rasulullahshollallahu ’alaih wa sallam di bukti
Aqabah. Disamping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut agama Allah,
sertamempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijrah rosulullah sebagai peristiwa besar.
Sebenarnya
di kalangan sahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh
dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush’ab.
Tetapi Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menjatuhkan pilihannya kepada
“Mush’ab yang baik”. Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau
telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan
kepadanya tanggung jawab nasib agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak
lama lagi akan menjadi kota tempatan atau kota hijrah, pusat dari dai dan
dakwah, tempat berhimpunnya penyebar Agama dan pembela al-Islam.
Mush’ab
memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya berupa fikiran yang
cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati,
ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka
berduyun-duyun masuk Islam.
Sesampainya
di Madinah, didapatinya Kaum Muslimin di sana tidak lebih dari dua belas orang,
yakni hanya orang-orang yang telah baiat di bukit Aqabah. Tetapi tiada sampai
beberapa bulan kemudian, meningkatlah orang yang sama-sama memenuhi panggilan
Allah dan Rasul-Nya.
Pernah
ia menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri serta
sahabatnya, yang nyaris celaka kalau tidak karena kecerdasan akal dan kebesaran
jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada orang-orang,
tiga-tiba disergap Usaid bin Hudlair kepala suku kabilah Abdul Asyhal di
Madinah. Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan lembingnya. Bukan main
marah dan murkanya Usaid, menyaksikan Mush’ab yang dianggap akan mengacau dan
menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, sertamengemukakan Allah Yang Maha Esa yang belum pernah mereka kenal dan dengar sebelum itu. padahal menurut anggapan Usaid, tuhan-tuhan mereka yang bersimpuh lena di tempatnya
masing-masing mudah dihubungi secara kongkrit. Jika seseorang memerlukan salah
satu diantaranya, tentulah ia akan mengetahui tempatnya dan segera pergi
mengunjunginya untuk memaparkan kesulitan serta menyampaikan permohonan.
Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam fikiran suku Abdul Asyhal.
Tetapi Tuhannya Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam – yang diserukan
beribadah kepada-Nya – oleh utusan yang datang kepada mereka itu, tiadalah yang
mengetahui tempat-Nya dan tak seorangpun yang dapat melihat-Nya.
Demi
dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar
kepada orang-orang Islam yang duduk bersama Mush’ab, mereka pun merasa kecut
dan takut. Tetapi “Mush’ab yang baik” tetap tinggal tenang dengan air muka yang
tidak berubah.
Bagaikan
singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush’ab dan Sa’ad bin Zararah,
bentaknya: “Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak
membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin
segera nyawa kalian melayang!”
Seperti
tenang dan mantapnya samudera dalam, laksana terang dan damainya cahaya fajar,
terpancarlah ketulusan hati ”Mush’ab yang baik”, dan bergeraklah lidahnya
mengeluarkan ucapan halus, katanya “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan
dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika
tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai itu!”
Sebenarnya Usaid seorang berakal dan berfikiran sehat. dan sekarang ini di ajak oleh Mush'ab untuk berbicara dan meminta pertimbangan kepada hati nurani sendiri. yang diminntanya hanyalah agar ia bersedia mendengarkan
dan bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush’ab, dan
jika
tidak, maka Mush’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan masyrakat
mereka
untuk mencari tempat dan masyarakat lain, dengan tidak merugikan ataupun
dirugikan orang lain.
“Sekarang
saya
insaf”, ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk
mendengarkan. Demi Mush’ab membacakan ayat-ayat Al-Quran dan mengajarkan
dakwah
yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah shollallahu ’alaih wa sallam,
maka dada
Usaid pun mulai terbuka dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik
turunnya
suara serta meresapi keindahannya. Dan belum lagi Mush’ab selesai dari
uraiannya. Usaidpun berseru kepadanya dan kepada sahabatnya, ”Alangkah
indah
dan benarnya ucapan itu! Dan apakah yang harus dilakukan oleh orang yang
hendak
masuk Agama ini?” Maka sebagai jawabannya gemuruhlah suara tahlil,
serempak
seakan hendak menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mush’ab, ”Hendaklah ia
mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan
yang
haq diibadahi melainkan Allah”
Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil memeras air dari rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuanya bahwa tiada tuhan yang haq diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya.
secepatnya berita itupun tersiar. keislaman Usaid di susul oleh kehadiran Sa'ad bi Mu'adz, setelah mendengar uraian Mush'ab, Sa'ad merasa puas dan masuk islam pula.
Langkah
ini disusul pula oleh Sa’ad bin Ubadah. Dan dengan keislaman mereka ini,
berarti selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di Madinah. Warga
kota Madinah saling berdatangan dan tanya bertanya sesama mereka, “Jika Usaid
bin Hudlair, Saad bin ‘Ubadah dan Sa’ad bin Mu’adz telah masuk Islam, apalagi
yang kita tunggu. Ayolah kita pergi kepada Mush’ab dan beriman bersamanya! Kata
orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah giginya!”
Saudaraku, sungguh kehidupan
Mush’ab bin Umair sangat sesuai dengan kehidupan teladannya Nabi Muhammad shollallahu
’alaih wa sallam. Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam
digambarkan di dalam Al-Qur’an sebagai seseorang yang berambisi ”menginginkan
keimanan dan keselamatan” atas manusia. Sehingga kesibukan utamanya adalah
senantiasa mengajak manusia untuk mendekat, beriman dan taat kepada Allah.
http://www.eramuslim.com/suara-langit/undangan-surga/duta-pertama-islam-mush-ab-bin-umair.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar